Ternate, Mutiara di Indonesia Timur

Dahulu, yang terngiang di telinga saya mendengar kata Ternate dari buku pelajaran sejarah sekolah adalah pulau indah penghasil cengkeh dan biji pala yang berhasil mengusir tentara Portugis dari bumi Indonesia.

Dan hingga kini, ingatan itu selalu terekam di kepala. Seberapakah indahnya pulau ini sehingga menggiurkan bangsa asing untuk menguasainya? Pulau kecil yang terletak di sebelah utara Laut Maluku ini seolah sulit dijangkau sehingga tidak menjadi tujuan wisata favorit oleh mayoritas penduduk Indonesia yang berdiam di pulau Jawa. Meskipun kini sudah ada beberapa maskapai penerbangan yang menawarkan destinasi ke sana, baik melalui rute penerbangan langsung atau singgah di Makassar, namun keindahan yang tersembunyi di dalamnya seperti belum mampu menarik perhatian wisatawan.

Pemandangan kota Ternate dari dalam pesawat, sebelum mendarat. (foto: dok.pri)

Pemandangan kota Ternate dari dalam pesawat, sebelum mendarat. (foto: dok.pri)

Beruntung saya berkesempatan menyambangi pulau berpenduduk 190 ribu jiwa itu dalam rangka tugas dinas pertengahan Mei yang lalu, yang membukakan mata saya bahwa Indonesia memang begitu kaya dengan potensi sumber daya alamnya yang sangat indah. Dengan menempuh perjalanan selama total 3,5 jam dari Surabaya (saya berdomisili di Surabaya) dan transit di Makassar, saya tiba di pulau seluas 547,736 km2 yang didominasi pemandangan Gunung Gamalama dan pesisir pantai Laut Maluku yang biru jernih.

 Kota Kesultanan yang Tenteram dan Berwajah Ramah

 Kesultanan Islam Tertua di Indonesia bagian Timur

 Dalam benak saya, masyarakat Ternate identik dengan apa yang sering dikatakan banyak orang, terutama di ibukota Jakarta, tentang tabiat orang Maluku yang pemarah, mudah tersulut dan ringan tangan. Namun, apa yang saya lihat sungguh berbeda.

Tatkala saya menyentuh landasan, yang tampak di hadapan saya adalah wajah-wajah yang masih tersenyum dengan malu-malu, perangai yang sopan, tutur kata yang santun. Secara fisik, jujur saja saya terkesima dengan paras rakyat Maluku Utara yang tampan, cantik, berbeda dengan raut wajah mayoritas orang Indonesia yang didominasi paras Jawa, Sunda, atau Tionghoa. Para prianya benar-benar menampakkan wajah maskulin dengan rahang tegas, sementara para wanita, apabila didatangkan ke Jakarta, mungkin mereka sudah laris-manis jadi model majalah karena keeksotisan warna kulitnya.

Bagian dalam istana kedaton Ternate yang didominasi warna emas. (foto: dok.pri)

Bagian dalam istana kedaton Ternate yang didominasi warna emas. (foto: dok.pri)

Kesantunan para penduduknya belum seberapa ketimbang saat saya mengunjungi Keraton Kesultanan pada satu hari terakhir seusai tugas dinas. Saya kira, keraton hanya ada di Pulau Jawa. Meskipun pelajaran sejarah pendudukan Portugis yang saya dapatkan di bangku SD memang menyebutkan bahwa Ternate dan Tidore merupakan pulau-pulau yang dipimpin oleh raja-raja Islam, namun saya baru benar-benar ngeh bahwa Kesultanan Ternate pernah ada, merupakan Kesultanan Islam tertua di Indonesia bagian timur, konon sejak abad ke-13 dan masih terus berjalan hingga saat ini. Bahkan, raja Ternate yang terakhir memimpin yaitu Sultan Mudaffar Sjah mangkat pada bulan Februari yang lalu dalam usia 80 tahun. Meskipun begitu, dari foto-fotonya yang terpampang di dalam kediamannya di Kedaton, yang terlihat adalah raut wajah tegas dan berwibawa.

Istana Kedaton Ternate

 Ketika saya memasuki Istana Kedaton yang terkadang juga dipakai sebagai tempat kediaman sultan dan keluarganya, tampak dua orang abdi dalam yang sedang bertugas dan sedang berbincang-bincang dengan seseorang. Saya diberitahukan bahwa orang yang sedang diajak bicara tersebut adalah putra sang Sultan, wow…

Bersama seorang teman, kami masuk dari halaman belakang Istana Kedaton yang saat itu tampak sepi. Walaupun tidak ada pengunjung selain para Abdi Dalam dan pangeran Ternate, kami menyaksikan dua orang ibu-ibu bersanggul, mengenakan baju kurung, sedang bersimpuh di lantai sembari merajang daun pisang yang akan digunakan untuk upacara ritual mingguan dan ziarah makam.

ibu-ibu abdi dalam di istana kedaton menyiapkan sesajen untuk upacara ritual mingguan. (foto: dok.pri)

ibu-ibu abdi dalam di istana kedaton menyiapkan sesajen untuk upacara ritual mingguan. (foto: dok.pri)

Dengan ramah, sang Abdi Dalam mempersilakan saya masuk untuk melihat-lihat bagian dalam Istana Kedaton yang dibangun sejak tahun 1813. Sang Abdi Dalam yang bertugas mengenakan kostum sederhana berupa baju kurung panjang di bawah dengkul berwarna hitam yang pada bagian pinggang dililit sabuk putih, dan celana panjang longgar berwarna putih. Di kepalanya bertengger topi tanpa penutup yang melingkar berwarna hitam. Hanya Abdi Dalam lah yang boleh keluar masuk ke dalam Kedaton dan menemani turis yang berkunjung. Selain itu, hanya orang-orang tertentu yang masih punya garis keturunan dengan sang Sultan yang bisa menjadi Abdi Dalam.

Di dalam Istana Kedaton yang luasnya mencapai 1500m2, dapat kita temukan banyak barang peninggalan yang memiliki nilai sejarah tinggi, selain berbagai porselen keramik, jubah kebesaran, mahkota, singgasana, peralatan ritual dan perlengkapan perang seperti perisai, pedang, dan helmet. Beberapa dari perlengkapan perang tersebut ada yang dihadiahkan oleh perwira tinggi Belanda penguasa Batavia, J.P. Coen. Yang menarik, konon mahkota tersebut mempunyai rambut yang bisa tumbuh memanjang seperti rambut manusia sehingga untuk memotongnya perlu dilakukan upacara ritual setiap Idul Adha.

bersalaman dengan abdi dalam istana kedaton. Di atasnya terdapat tulisan kaligrafi Arab gundul, konon pernah terkena lemparan mortir Belanda. (foto: dok.pri)

bersalaman dengan abdi dalam istana kedaton. Di atasnya terdapat tulisan kaligrafi Arab gundul, konon pernah terkena lemparan mortir Belanda. (foto: dok.pri)

Hal lainnya lagi yang menarik perhatian saya adalah tulisan berbahasa Arab gundul yang berarti keselamatan dan perlindungan untuk rakyat Ternate yang terpajang di atas dinding balkon. Bagian atas sebelah kanan tulisan tersebut terlihat retak dan seperti terhapus, karena ternyata pernah terkena lemparan mortir pasukan Belanda. Dari atas balkon teras ini, kita dapat melihat hamparan lautan luas dan pulau Halmahera.

Yang berkesan bagi saya, meskipun berada jauh di timur Indonesia, dari barang-barang peninggalan, atribut dan propertinya, kesultanan Ternate ini mengingatkan saya pada kerajaan-kerajaan Islam Melayu yang berada di Sumatera dan pulau Jawa sehingga terasa dekat di hati, berhubung saya lahir dan besar di pulau Jawa. Begitu pula dengan perangai para Abdi Dalam, ibu-ibu yang menyiapkan upacara ritual, malahan terkesan seperti orang Jawa saking halus dan santun serta lembut tutur katanya.

balkon teras istana Kedaton dengan pemandangan hamparan laut Halmahera. (foto: dok.pri)

balkon teras istana Kedaton dengan pemandangan hamparan laut Halmahera. (foto: dok.pri)

Mesjid Kesultanan Ternate

Dikenal sebagai kota Kesultanan Islam pertama di Indonesia Timur, maka Ternate pun mempunyai sebuah mesjid tua yang juga bersejarah. Dikatakan bersejarah karena pembangunan mesjid ini telah dilakukan sejak abad ke-17 zaman pemerintahan Sultan Hamzah. Ada juga literatur yang menyebutkan bahwa mesjid ini telah ada bahkan sejak Sultan Zainal Abidin yang memerintah pada abad ke-16 berguru pada Sunan Giri di Gresik. Meskipun sudah berusia ratusan abad, mesjid ini tetap berdiri dengan teguh dan terawat.

Sayangnya mesjid itu sedang ditutup untuk umum ketika saya menyambanginya, karena waktu itu hari libur nasional. Saya hanya dapat mengamati bagian luar mesjid yang arsitekturnya mirip dengan mesjid Demak di pulau Jawa. Terdiri dari empat bangunan, ciri khas masing-masing bangunan terlihat jelas dari adanya empat tiang soko guru yang terdapat pada masing-masing atap, dan bentuk atapnya itu sendiri yang bukan berupa kubah, melainkan atap piramida bertumpuk yang disebut tumpang limas atau kalau di Jawa disebut tajug. Bahan atap mesjid terbuat dari daun rumbia yang berasal dari pohon sagu, yang mencerminkan kekayaan alam Indonesia.

Mesjid Kesultanan Ternate beratapkan tumpang limas, seperti mesjid Demak di Jawa. (foto: dok.pri)

Mesjid Kesultanan Ternate beratapkan tumpang limas, seperti mesjid Demak di Jawa. (foto: dok.pri)

Alangkah indahnya budaya negeri ini, bahkan untuk arsitektur mesjid saja bisa berakulturasi dengan arsitektur bangunan khas Nusantara. Saya pikir, pada zaman dahulu saja agama bisa bersatu-padu dengan budaya masyarakat setempat, mengapa sekarang justru jadi terkesan kaku?

Batu Akik Kebanggaan Ternate

 Dari Kedaton, kami bertolak menuju benteng Tolukko yang berdiri persis menghadap pulau Halmahera. Namun, sebelum mencapainya, karena satu arah menuju timur, kami berhenti dulu di pasar yang menjual batu-batu akik, atau orang Ternate menyebutnya Batu Bacan, karena batu mulia ini aslinya berasal dari Pulau Bacan, sebelah barat daya Halmahera.

Berbagai jenis batu bacan, mulai dari yang masih kasar sampai yang sudah diasah. (foto: dok.pri)

Berbagai jenis batu bacan, mulai dari yang masih kasar sampai yang sudah diasah. (foto: dok.pri)

Pasar ini berdiri di atas taman bernama Dodoku Kapita Lau Ali yang terletak di alun-alun kota. Ketika kami singgah di pasar ini, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, dan saat itu hari libur nasional, sehingga tidak terlalu ramai seperti yang dikatakan orang.

Sebenarnya saya sendiri bukan penyuka batu mulia, namun karena konon batu ini apabila disinari lampu senter cahayanya bisa tembus sehingga menyebabkan nilainya menjadi mahal, maka saya pun penasaran untuk melihat seperti apa rupa batu kebanggaan rakyat Ternate ini.

Yang lagi-lagi menarik, batu-batu itu dijual dalam berbagai rupa. Ada yang masih dalam wujud asli, yaitu belum diasah, dan sepintas rupanya seperti batu marmer, tetapi masih berbentuk bongkahan. Untuk menjaga kualitasnya, batu-batu yang belum digerinda tersebut direndam di dalam air. Pada bagian belakang pasar dapat kita lihat bilik-bilik yang ditempati para tukang yang sedang mengasah dan memotong bongkahan batu sehingga bentuknya menjadi bulat indah dan warnanya mengkilap. Katanya, pilihlah batu yang kandungan minyaknya tinggi sehingga ketika disinari lampu senter, pantulan cahayanya tembus dengan sempurna. Batu akik ini dipasang sebagai tahta cincin atau leontin kalung, dengan harga bervariasi mulai dari minimal 50 ribu hingga jutaan rupiah.

Pasar Dodoku Kapita Lau Ali. Di sini batu akik yang masih kasar diasah dengan mesin sederhana. (foto: dok.pri)

Pasar Dodoku Kapita Lau Ali. Di sini batu akik yang masih kasar diasah dengan mesin sederhana. (foto: dok.pri)

Benteng Tolukko: Benteng Abad Pertengahan Peninggalan Tentara Portugis

 Perjalanan kami berlanjut ke benteng Tolukko. Benteng bergaya Abad Pertengahan ini nyatanya memang dibangun pada tahun 1540 oleh Fransisco Serrao pada masa pendudukan bangsa Portugis di pulau Ternate, dengan nama Santo Lucas, dalam rangka penguasaan perdagangan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala. Ia didirikan tepat di atas bukit menghadap Pulau Halmahera, yang difungsikan untuk mengawasi gerak-gerik Kesultanan Ternate serta jalur lalu-lintas perdagangan rempah antara pulau Ternate, Tidore dan Halmahera. Selain itu, benteng seluas 1252 meter persegi ini dulunya juga dimanfaatkan sebagai gudang penyimpanan logistik. Setelah jatuh ke tangan Belanda, benteng berfondasi batuan beku ini sempat diambil alih oleh tentara Belanda pada tahun 1610, dinamai Benteng Holandia, untuk dijadikan penangkis serangan pasukan Spanyol yang juga ingin menguasai Ternate. Memang betapa kayanya pulau yang meskipun kecil namun menyimpan banyak potensi bagi kepentingan politik perdagangan bangsa Eropa ini, sehingga sempat berpindah-pindah ke tangan para penjajah dari berbagai bangsa. Pemerintah Indonesia lalu menamai benteng ini sesuai nama salah seorang penguasa Kesultanan Ternate yang memerintah pada tahun 1692.

Benteng Tolukko peninggalan tentara Portugis yang datang ke Ternate, didirikan tahun 1540. (foto: dok.pri)

Benteng Tolukko peninggalan tentara Portugis yang datang ke Ternate, didirikan tahun 1540. (foto: dok.pri)

Ada yang menyebutkan disain bangunan benteng ini jika ditilik dari atas menyerupai alat vital pria, meskipun saya tidak melihatnya demikian. Dari bentuknya saya malahan teringat pada benteng dalam permainan di atas papan catur. Benteng sederhana ini hanya terdiri dari dua lantai, terbagi atas dua bagian berbentuk silinder yang di tengah-tengahnya terdapat anak-anak tangga, dan  di bagian bawahnya berupa sebuah lorong yang dahulu digunakan sebagai tempat perlintasan perahu-perahu kecil. Walaupun sudah berusia lima abad, benteng yang sempat dipugar pada tahun 1996 hingga 1997 masih tampak kokoh, dan syukurnya dirawat dengan baik oleh penduduk setempat. Kentara sekali dari tamannya yang ditata secara apik, dan rerumputan yang selalu dipangkas rapi, seperti yang saya temui pada saat tiba di sana ketika seorang bapak-bapak memotong rumput dengan sebuah mesin. Para pengunjung dipersilakan membayar tiket masuk seikhlasnya.

Dari atas benteng saya menikmati pemandangan kapal-kapal yang berlabuh dengan tenang, dan gunung Gamalama yang puncaknya diselimuti awan. Saya jadi merenung, jika saja semua bangunan peninggalan bangsa Eropa maupun warisan leluhur di Tanah Air kita ditata sedemikian rupa, ini akan menjadi aset sejarah yang tak ternilai dan memberikan ilmu pengetahuan bagi generasi saya dan sesudahnya.

Pemandangan dari atas Benteng Tolukko, dengan kapal-kapal yang berlabuh dan Gunung Gamalama yagn diselimuti awan. (foto: dok.pri)

Pemandangan dari atas Benteng Tolukko, dengan kapal-kapal yang berlabuh dan Gunung Gamalama yagn diselimuti awan. (foto: dok.pri)

 Kekayaan Alam Ternate dan Legenda Mistis

 Tumpukan Sisa Lahar di Batu Angus

Tidak habis-habisnya rasa kekaguman saya, yang semakin menumbuhkan kecintaan saya terhadap Indonesia. Pak Amat, supir mobil sewaan merangkap pemandu wisata menyarankan saya untuk menyempatkan diri mengunjungi Batu Angus dan Danau Tolire sebelum kembali ke bandara.

Awalnya, tatkala melihat foto-foto dalam berbagai blog, saya pikir Batu Angus ini merupakan peninggalan dari jaman prasejarah. Apalagi melihat bentuknya yang menyerupai bangunan megalitikum, karena bongkahan-bongkahannya yang besar dan tingginya dapat mencapai dua meter, mirip-mirip Stonehenge di Inggris, namun sangat tidak beraturan. Ketidakteraturan bentuk dan teksturnya inilah justru yang menarik perhatian para wisatawan karena batu-batu ini terbentuk secara alami dari lahar panas akibat letusan gunung Gamalama pada sekitar abad ke-17, lalu lama-kelamaan membeku dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia. Oleh sebab itu kawasan yang terletak sekitar 10 kilometer jauhnya dari kota Ternate, atau sekitar 30 menitan dengan mobil, dinamakan Batu Angus yang artinya bebatuan lahar yang hangus.

tumpukan sisa lahar membentuk bebatuan yang indah di Batu Angus. (foto: dok.pri)

tumpukan sisa lahar membentuk bebatuan yang indah di Batu Angus. (foto: dok.pri)

Ditilik dari luasnya, area Batu Angus ini cakupannya mencapai 10 hektar dengan seruas jalan lumayan berkelok-kelok untuk dilalui mobil sepanjang 200 meter. Dengan membayar ongkos Rp 5000 per orang, pengunjung dapat menikmati sepuasnya keindahan alam Ternate berupa gunung Gamalama yang selalu dinaungi awan.

Danau Tolire dan Legenda Gaib

Sebenarnya saya sudah harus segera kembali ke hotel untuk check out lalu bergegas ke bandara karena batas jam boarding sebelum jam 2 siang, sedangkan saat itu sudah jam 11.30. Namun Pak Amat dan kawan yang menemani saya jalan-jalan bersikukuh bahwa saya harus mengunjungi danau yang katanya terkenal mistis ini. Apalagi sayang sudah jauh-jauh ke Ternate, kapan lagi bisa mendatangi tempat ini kalau tidak pada hari itu juga? Belum tentu saya akan kembali lagi ke Ternate dalam waktu dekat. Berhubung jalanan tidak macet, dan hari itu adalah hari libur nasional, serta letaknya hanya 15 menit dari Batu Angus, maka permintaan Pak Amat saya iyakan.

Cerita mistis yang dituturkan oleh Pak Amat dan kawan saya mengenai danau itu adalah siapa pun yang melemparkan batu ke arah danau, batu itu tidak akan pernah mengenai bagian tengahnya, melainkan akan selalu jatuh di pinggiran danau, sekuat-kuatnya kita melempar. Bahkan, batu-batu untuk dilemparkan ke danau dijual dalam satu kantong plastik seharga Rp 5000. Saya pun mencoba melemparkan batu dengan berbagai gaya, mulai dari kekuatan a la kadarnya hingga gaya bak pelempar lembing, tetap saja batu itu tidak mengenai air danau meskipun tampak dekat sekali di bawah kaki kita. Begitu pula ketika batu itu dilempar oleh wisatawan lain yang sepertinya turis lokal kalau saya dengar dari logatnya, dengan kekuatan yang lebih besar tentunya dari saya, tetap saja batu itu tidak mencapai air danau.

Banyak cerita mistis yang beredar seputar Danau Tolire yang kedalamannya tidak diketahui hingga kini. (foto: dok.pri)

Banyak cerita mistis yang beredar seputar Danau Tolire yang kedalamannya tidak diketahui hingga kini. (foto: dok.pri)

Cerita mistis lainnya, apabila kita ingin mendaki gunung Gamalama, yang terletak persis di atas danau, maka sang pendaki tidak boleh mengenakan baju berwarna mencolok seperti merah atau kuning, kalau tidak mau hilang ditelan alam rimba gunung yang tampak terjal dan lebat, atau dimakan siluman buaya putih yang konon mendiami danau tersebut. Ada lagi yang mengatakan bahwa di dasar danau tersembunyi harta karun milik Kesultanan Ternate agar tidak dirampas oleh tentara Portugis.

Apa pun cerita yang beredar, memang benar kata Pak Amat saya akan menyesal kalau tidak menyambangi danau ini. Belum ke Ternate namanya kalau belum mengunjungi tempat-tempat yang beliau sarankan, seperti benteng-benteng peninggalan Portugis, istana Kesultanan Islam Ternate, dan mesjid hasil akulturasi budaya Islam dan Nusantara yang menjadi saksi bisu sejarah dan hikayat kekayaan alam budaya Indonesia.

Saya pun kembali ke bandara dengan hati puas dan senang. Ternate akan selalu menjadi sebuah kenangan manis dalam memori saya, semanis dan selembut rakyatnya yang berhati tulus di balik senyuman polos mereka. Ternate bagi saya bak sebuah mutiara terpendam di Indonesia bagian Timur.***

Saya berpose dengan pemandangan Pulau Maitara. Pulau ini dapat kita temukan pada uang lembar Rp 1000,-. (foto: dok.pri)

Saya berpose dengan pemandangan Pulau Maitara. Pulau ini dapat kita temukan pada uang lembar Rp 1000,-. (foto: dok.pri)

Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Gramedia Blogger Competition bekerjasama dengan Kompas TV, yang mengangkat pesona keindahan Indonesia Timur melalui program tayangan Ring Of Fire Adventure berbentuk serial dokumenter.

6 thoughts on “Ternate, Mutiara di Indonesia Timur

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.