
HP Samsung Galaxy Young 2 yang saya beli dengan cerita mengharukan di baliknya. (foto: dok.pribadi)
Bagaimana rasanya di zaman sekarang ini Anda tidak punya HP (atau ponsel), sedangkan Anda dalam usia produktif dengan banyak relasi? Merasa terasing dari dunia? Mungkin Anda masih bisa hidup tanpa Android, tapi tanpa telepon sama sekali? Sedangkan boks telepon umum atau wartel di Jakarta bisa dibilang nyaris tidak ada. Itulah yang sempat saya rasakan ketika saya hendak pindah dari kantor di Surabaya, ke kantor yang sama di Jakarta, tanpa dibolehkan membawa ponsel kantor yang sudah merangkap menjadi ponsel pribadi. Memang, sih, seharusnya saya memisahkan dua fungsi itu menjadi dua telepon berbeda, dengan kata lain punya dua ponsel dalam tas. Namun, mengingat kepraktisan, dan saya orangnya suka lupaan, jadi ya ponsel kantor pun difungsikan juga sebagai ponsel pribadi. Sementara, ponsel pribadi sudah lama saya jual karena sudah usang, dan sisanya yang masih saya simpan berupa ponsel Nokia punya almarhumah ibu yang hanya bisa buat SMS dan telepon.
Singkatnya, sebelum saya kembali ke Jakarta, saya memutuskan harus membeli ponsel pintar baru. Setidaknya ponsel tersebut punya aplikasi Android di dalamnya, agar bisa whatsapp-an dengan keluarga yang tinggal berlainan kota, dan dengan teman-teman dekat yang sewaktu-waktu bisa saya mintakan bantuan. Namun karena saya tidak punya dana lebih (dipakai untuk kepindahan ke Jakarta), saya pun tidak menuntut macam-macam: ponsel Android tapi murah dan tahan lama. Yang penting bisa telponan, SMS-an, whatsapp-an. Juga, batere tahan lama! Penting, tuh, biar nggak perlu sering-sering nge-charge.