Arsip Bulanan: Juni 2016

Beli HP Murah Saat Tak Ada Dana Tapi Butuh Banget, Rasanya…

HP Samsung Galaxy Young 2 yang saya beli dengan cerita mengharukan di baliknya. (foto: dok.pribadi)

HP Samsung Galaxy Young 2 yang saya beli dengan cerita mengharukan di baliknya. (foto: dok.pribadi)

Bagaimana rasanya di zaman sekarang ini Anda tidak punya HP (atau ponsel), sedangkan Anda dalam usia produktif dengan banyak relasi? Merasa terasing dari dunia? Mungkin Anda masih bisa hidup tanpa Android, tapi tanpa telepon sama sekali? Sedangkan boks telepon umum atau wartel di Jakarta bisa dibilang nyaris tidak ada. Itulah yang sempat saya rasakan ketika saya hendak pindah dari kantor di Surabaya, ke kantor yang sama di Jakarta, tanpa dibolehkan membawa ponsel kantor yang sudah merangkap menjadi ponsel pribadi. Memang, sih, seharusnya saya memisahkan dua fungsi itu menjadi dua telepon berbeda, dengan kata lain punya dua ponsel dalam tas. Namun, mengingat kepraktisan, dan saya orangnya suka lupaan, jadi ya ponsel kantor pun difungsikan juga sebagai ponsel pribadi. Sementara, ponsel pribadi sudah lama saya jual karena sudah usang, dan sisanya yang masih saya simpan berupa ponsel Nokia punya almarhumah ibu yang hanya bisa buat SMS dan telepon.

Singkatnya, sebelum saya kembali ke Jakarta, saya memutuskan harus membeli ponsel pintar baru.  Setidaknya ponsel tersebut punya aplikasi Android di dalamnya, agar bisa whatsapp-an dengan keluarga yang tinggal berlainan kota, dan dengan teman-teman dekat yang sewaktu-waktu bisa saya mintakan bantuan. Namun karena saya tidak punya dana lebih (dipakai untuk kepindahan ke Jakarta), saya pun tidak menuntut macam-macam: ponsel Android tapi murah dan tahan lama. Yang penting bisa telponan, SMS-an, whatsapp-an. Juga, batere tahan lama! Penting, tuh, biar nggak perlu sering-sering nge-charge.

Baca lebih lanjut

Berasuransi dan Syar’i!

Berbicara (lagi) tentang asuransi, saya sudah cukup lama menjadi nasabah pemegang polis asuransi kesehatan dari AIA, tepatnya sejak bulan September 2011. Namun, sebenarnya saya mengenal nama AIA sudah jauh lebih lama ketika sering diajak orangtua bepergian keluar negeri sewaktu kecil. Berhubung bepergian ke negara-negara yang memerlukan visa juga mensyaratkan adanya asuransi perjalanan, maka setiap kali mengurus visa, ibu saya biasanya menyertakan asuransi perjalanan dari AIA.

Bapak Frizt Ananda (berdiri) selaku Marketing Business Partner Manager AIA Financial memberikan penjelasan tentang AIA Sakinah Assurance dalam acara talkshow "Blogging & Beyond Valuklik" (ki-ka: Shintaries-Blogger Perempuan, Alfred Lucky Chandra-Valuklik, mba MC)

Bapak Frizt Ananda (berdiri) selaku Marketing Business Partner Manager AIA Financial memberikan penjelasan tentang AIA Sakinah Assurance dalam acara talkshow “Blogging & Beyond Valuklik” (ki-ka: Shintaries-Blogger Perempuan, Alfred Lucky Chandra-Valuklik, mba MC). Foto: dok.pribadi

Jadi, AIA sebenarnya sudah tidak terlalu asing bagi saya. Namun, mempunyai asuransi kesehatan untuk pertama kalinya tanpa campur tangan orangtua, ya asuransi dari AIA. Kolega dari kantor lama saya yang juga kebetulan merangkap sebagai agent AIA lah yang menawarkan paket asuransi Hospital & Surgical Plus kepada saya. Melalui paket Hospital & Surgical Plus AIA ini, saya mendapat perlindungan menyeluruh ketika saya diharuskan untuk rawat inap di rumah sakit karena sakit, operasi atau kecelakaan. Menyeluruh artinya, proteksi yang saya dapatkan tidak hanya untuk biaya rawat inap, tetapi juga untuk biaya-biaya lainnya yang terkait dengan perawatan di rumah sakit, seperti obat-obatan, biaya dokter, biaya operasi, biaya UGD, biaya ICU, biaya alat-alat kesehatan, pokoknya semua, deh. Jadi, ketika saya didiagnosa suatu penyakit oleh dokter dan disarankan untuk opname, saya tidak perlu membayar DP yang memberatkan lagi (biasanya di kisaran Rp 1 juta ke atas), karena tinggal gesek kartu asuransi AIA saja. Artinya, kartu asuransi AIA yang saya punya ini sifatnya cashless, tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun di awal.

Baca lebih lanjut

Dengue dan Herpes: Awalnya Hanya Gara-Gara Menganggap Sepele!

gejala demam dengue (foto sumber: simple.wikipedia.org)

gejala demam dengue (foto sumber: simple.wikipedia.org)

Sekitar pertengahan bulan April yang lalu, untuk pertama kalinya saya terserang dengue dalam hidup saya, alias demam berdarah. Saya tidak mengira di usia kepala tiga begini masih bisa terserang penyakit yang biasanya diderita anak-anak. Meskipun, yah.. zaman sekarang begini dengue pun bisa menyerang orang dewasa. Saya memang pernah membaca sebuah artikel di surat kabar sekitar satu bulan sebelumnya, bahwa bulan April 2016 diperkirakan akan menjadi puncaknya wabah dengue di Indonesia. Waktu itu yang terlintas di benak saya, “Wah..  insya Allah saya nggak kena.”

Yang terjadi malah kebalikannya. Selain ya bisa jadi teguran dari Allah untuk beristirahat, bisa juga karena saya terlalu menyepelekan kondisi lingkungan tempat saya tinggal. Waktu itu saya tinggal di sebuah area kos-kosan yang padat penduduk di daerah Jakarta Pusat, dikelilingi gedung pusat perbelanjaan. Saya tidak jarang pulang malam dari kantor karena pekerjaan yang banyak, dan juga… saya malas pulang cepat, karena di kos tidak ada hiburan, ha ha. Kamar kos sangat sempit yang hanya bisa memuat satu orang, pengap karena tidak berjendela. Selain itu, “Ah, dekat ini,” begitu selalu ucap saya dalam hati. Maksudnya jaraknya antara kos dan kantor sangat dekat, jalan kaki hanya 15 menit, naik gojek atau bajaj hanya 5-10 menit. Jadi, biasanya saya akan main ke mal dulu, sekadar cuci mata, ke toko buku, atau nonton film.

Baca lebih lanjut